Sejarah Banjar paralel dengan sejarah
kebudayaannya. Dalam sejarah Banjar yakni pada zaman kuno di Kalimantan Selatan
ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan yang dikisahkan dalam ceritera
bersambung dari mulut ke mulut berupa hikayat. Hal ini disebabkan belum adanya
suatu penelitian yang mendalam tentang situasi pada zaman tersebut.
"Sumber Foto : http://kebudayaanindonesia.net/media/
images/upload/culture/candi-agung-amuntai1.jpg"
Tentang kesenian jenis yang disebutkan hikayat
Banjar antara lain adalah merakit, bahdrang, baokal, bajoget, bahigal radap,
manopeng, jenis-jenis baksa seperti baksatumbak, baksa panah, baksa dadap,
baksa tameng, baksa kantar, baksa hupak, baradap.
Sebelum muncul kerajaan Negara Dipa dapat
diperkirakan bahwa pada zaman perundagian telah terdapat desa-desa besar di
pantai kaki pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota
bandar dalam perhubungan perdagangan laut dengan India dan Cina dan perdagangan
interinsuler.
Konsentrasi populasi terdapat selanjutnya
dengan pertumbuhan pantai dan aliran sungai Tabalong sebagai daerah yang
terpadat penduduknya. Kemungkinan sekali di sekitar abad ke-5 atau 6 Masehi
telah muncul kerajaan Tanjungpuri sebagai pusat kolonisasi orang-orang Melayu
yang berasal dari Sriwijaya. Mereka membawakan bahasa dan kebudayaan Melayu
sambil berdagang. Mereka kemudian mengembangkan diri bercampur dengan penduduk
sekitarnya yang terdiri dari suku-suku Maanyan, Lawangan dan Bukit.
Besar kemungkinan bahwa Melayu pendatang yang
berasimilasi itu masih menumbuh kembangkan kesenian Melayu. Dan ketika
Tanjungpuri lenyap maka tumbuh kerajaan Negara Dipa yang dibantu oleh
orang-orang Jawa dari Kediri Utara. Kebudayaan Jawa dalam kehidupan masyarakat
istana dan sekitarnya berpadu dengan kebudayaan Melayu dan kebudayaan Maanyan,
akan tetapi karena keraton Negara Dipa lebih mendominasi adat tradisi Budaya
Jawa, maka masyarakat sekitar juga dipengaruhi hal yang demikian.
1. Seni Rupa
Walaupun mengenai seni rupa yang berkembang
tidak begitu jelas namun secara asumsi dapat diperkirakan bahwa seni patung
sederhana seperti zaman neolithikum tetap berjalan.
a. Seni Bangunan
Negara Dipa dan Negara Daha masing-masing
mempunyai peninggalan berupa Candi Agung di Amuntai dan Candi Laras di
Margasari. Dari berbagai tinggalan yang ditemukan di situs candi Laras di
Margasari, menunjukkan bahwa kepercayaan yang berkembang saat itu adalah Hindu
Siwa.
Seluruh candi Laras kini hampir tak tersisa
bangunannya kecuali fondasi dalam tanah. Lima ratus meter ke sebelah Timur
terdapat situs pematang bata; tidak diketahui secara pasti bentuk dan
fungsinya. Ada kemungkinan sebagai sebuah “petirtaan”, terbuat dibuat dari
susunan batu bata sejenis dengan bata yang ada di candi Agung, Amuntai.
"Sumber Foto : http://www.ciputranews.com/media/images/
2015/09/ciputranews_1441245989.jpg"
Di dalam "Tutur Candi" dikatakan
bahwa untuk kediaman Puteri Junjung Buih dibuat mahligai dengan pilar-pilar batung
batitis (patung berukir). Bagaimana bentuk-bentuk motif mahligai tersebut,
belum diketahui. Secara imajinatif, mahligai Putri Junjung Buih itu bertiang
tinggi seperti budaya "rumah Betang", dan miniatur mahligai-nya
mungkin seperti Balai Warti untuk pengantin bersanding sekarang ini.
Negara Dipa adalah kerajaan maritim disamping
agraris. Hubungan dagang dan pelayaran yang tidak saja datang dari Jawa,
Sumatera, Malaya, juga Cina dan Asia Tenggara. Mungkin tradisi Banjar abad
ke-17 yang berlayar dan berdagang sampai ke Siam juga berasal dari zaman Negara
Dipa atau sebelumnya.
Migrasi-migrasi akibat hubungan ke luar
membuat Kalimantan Selatan selalu menjadi "meltingpot" yang berlanjut
dalam pembuatan “manusia-manusia baru” yang berkebudayaan sungai yang diwarisi
oleh orang-orang Banjar kemudian.
Bangunan rumah-rumah penduduk di Negara Dipa
diasumsikan bagaimana tempat tinggal penduduk asli yakni rumah Betang bertiang,
memakai bubungan "pisang sasikat" dan menghadap sungai. Adanya motif
lain yakni pada rumah-rumah pendatang yang menghadap ke sungai, karena
kebutuhan transportasi sungai dalam arus perdagangan.
b. Seni Arca
Di Candi Agung tidak ditemukan arca, namun di
Candi Laras dan sekitarnya terdapat sisa arca Dipangkara, potongan lingga dari
batu bazalt merah dan pecahan yoni. Dipangkara berarti dian (penerang) atau
pembawa cahaya. Dipangkara merupakan salah satu Budha dalam kelompok Manusia
Budha yang khusus terdapat dalam aliran Lamaisme, yaitu bentuk pengembangan
Budha Mahayana Tibet. Kemungkinan arca itu dibawa oleh orang-orang Melayu dari
Sriwijaya sekitar abad ke-7 masehi. Hal ini berkaitan dengan temuan fragmen
prasasti berinskripsi Jayasiddha dan arca Dipangkara itu sendiri sebagai arca
Budha. Prasasti berinskripsi Jayasidha ditulis dalam aksara Pallawa atau Wenggi
dan bahasa Sanskerta. Kata ini Jayasidha mengandung anasir magis kebudhaan yang
mengungkapkan keberhasilan perjalanan ziarah untuk memperoleh berkah atau
kekuatan gaib.
c. Seni Ukir
Yang termasuk seni rupa juga adalah seni ukir.
Diperkirakan motif ukiran yang ada sekarang adalah sebagian peninggalan zaman
Hindu Budha dan Siwa. Motif ukiran pada umumnya terdapat pada kayu, perhiasan,
logam kuningan dan kulit binatang. Motif ornamen terdapat pada anyaman-anyaman
tikar, anyaman bakul butah, lanjung dan alat rumah tangga lainnya. Tatah ukir
pada kulit binatang sudah berkembang lewat tatah wayang kulit.
Beberapa motif ukiran (ornamen) pada masa
kebudayaan Hindu mempunyai arti tertentu, misalnya:
- motif teratai melambangkan kesucian dan kekuasaan
- motif pucuk rabung melambangkan wawasan tinggi
- motif bunga bogam melambangkan hidup terpandang
- motif kemala melambangkan status derajat tinggi
- motif gigi haruan melambangkan kewaspadaan
- motif talipuk melambangkan keselarasan lahir batin
- motif tali berpilin melambangkan nilai kesetiaan
- motif burung enggang melambangkan kebangkitan
- motif sindat melambangkan keterikatan kesatuan
- motif ular naga melambangkan keperkasaan mendukung wibawa
- motif ular lidi melambangkan keapikan nurani
- motif buah manggis melambangkan kejujuran
- motif daun jaruju melambangkan penjagaan diri
- motif lipan melambangkan mawas diri.
d. Seni Lukis
Pada zaman kebudayaan Hindu, seni lukis
tidakbanyak yang tersisa. Asumsi bahwa lukisan dengan sulaman manik-manik air
guci sudah berkembang pada zaman ini, karena motif-motif ukiran mirip dengan
sulaman manik-manik, terutama pada motif hiasan pada dinding air guci dan tapihair
guci serta baju wanita. Batik ikat sasirangan juga berasal dari zaman ini,
dengan dilukis pada kain dan diikat sebelum dicelup pewarna. Hal ini sampai
sekarang masih dilakukan wanita-wanita di aliran sungai, yang dipercaya
mengandung magis budaya leluhur.
2. Seni Sastra
Mengenai seni sastra di abad-abad pertama
sampai dengan abad ke-14 masih gelap. Yang jelas seni itu telah ada sejak
kerajaan Tanjung Puri dan terus berkembang hingga ke masa Kerajaan Banjar.
Sastra lisan berupa ceritera rakyat hidup dari
mulut ke mulut yakni andi-andi di sawah ketika panen dan andi-andi sebelum
tidur. Umumnya ceritera rakyat ini muncul di pedesaan agraris. Beberapa buah di
antaranya dapat disinopsiskan sebagai berikut:
a. Sangiang Gantung
Terceritera adalah Raja kerajaan Hilir
Margasari gemar memakan lauk dari masakan perut ayam. Tukang masak kewalahan
dan digantinya dengan cacing. Saban hari Raja minta karena merasa lezat bukan
main.
Suatu hari cacing-cacing keluar dari dalam
tanah, hingga banyak rakyat tertimbun cacing. Raja pun mati tertimbun cacing.
Setelah cacing-cacing menghilang, maka para abdi raja menggantung jenazah raja
di pohon jingah besar atas permintaan tuan puteri, karena tuan puteri pernah
dipesani raja bahwa kalau baginda meninggal harus digantung, jangan dikubur.
Sampai sekarang pohon jingah besar di situ disebut orang "Sangiang Gantung”.
b. Intingan dan Dayuhan
Intingan dan Dayuhan dua bersaudara. Intingan
pintar bijaksana dan Dayuhan dungu tapi jujur. Di dalam banyak versi
ceriteranya Intingan yang pintar selalu dengan sukarela membimbing adiknya
Dayuhan, namun Dayuhan tak pernah bisa juga.
c. Ular Dandang
Ketika seekor burung liar Garuda menyerang
kerajaan, adalah seekor ular bernama Dandang ingin memperisteri puteri raja
dengan melamar salah seorang. Puteri tujuh tidak berkenan, kecuali puteri
bungsu yang bersedia pada akhirnya.
Ular Dandang keluar dari "sarungya"
menjadi raja sakti dan Garuda dibunuhnya. Kemudian ia membangun kerajaan yang
lengkap dengan istana dan hamba sahayanya.
d. Batu Balah Batu Batangkup
Seorang ibu sakit hati dan putus asa karena
amarah terhadap dua orang anaknya yang menghabiskan makanan kesayangannya
berupa, pais hati bakut. Ia pergi ke tempat batu sakti, kemudian berkata :
"Batu balah batu batangkup
Tangkupakan badanku nang cilaka
Tagkupakan badanku nang kapuhunan hati bakut
Maka badan ibu itu ditangkup oleh batu saktiitu hingga mati
Si anak yang melihatitu menyesali diri mereka dan menganggap ibunya "kepuhunan"
"Batu balah batu batangkup
Tangkupakan badanku nang cilaka
Tagkupakan badanku nang kapuhunan hati bakut
Maka badan ibu itu ditangkup oleh batu saktiitu hingga mati
Si anak yang melihatitu menyesali diri mereka dan menganggap ibunya "kepuhunan"
e. Sandah Gelar Puteri Ambang Kapas
Seorang puteri raja yang besar badannya
menaruh cinta kepada Raden Enu. Ia mengejar Raden Enu dan terperosok ke dalam
gua sempit, la mati dan menjelma sebatang kayu Tangkalupa. Masyarakat sampai
sekarang menghindari pohon itu karena dianggap ada hantunya.
f. Kisah Batu Banawa
Anak lelaki Diang Ingsun pergi merantau, dan
pulang sebagai Raden Pangantin beristrikan puteri seberang. la tidak mengakui
Diang Ingsun sebagai ibunya. Diang Ingsun berdoa semoga Tuhan membuktikan
dirinya sebagai ibu. Maka turun angin topan yang membuat kapal dan seisinya
menjadi batu, Demikian kisah anak durhaka.
Masih banyak lagi kisah andi-andi dan mungkin
berasal dari zaman Hindu budha, dengan ciri kepercayaan sejenis mitos.
3. Seni Teater
Mungkin sekali pada zaman kerajaan Negara Dipa
dan kemudian kerajaan Negara Daha, seni teater sebagai seni pertunjukan yang
berasal dari Jawa juga hidup di kalangan istana. Seni ini dikembangkan oleh
imigran dari Jawa yakni Mpu Jatmika yang mendirikan Negara Dipa,. Dengan
masuknya bangsawan Jawa ini, unsur-unsur budaya keraton Jawa pun ikut masuk ke
Kalimantan Selatan.
a. Wayang kulit
Wayang kulit pada masa itu masih murni budaya
Jawa dengan ceritera Mahabarata atau Ramayana.
b. Wayang Wong
Wayang Wong dimainkan oleh orang-orang dari
Jawa di istana. Menurut Dr. GAJ Hazeu dan J.L.A. Brandes yang meneliti kesenian
wayang, diperoleh suatu kesimpulan bahwa kesenian wayang di Indonesia berinduk
pada kesenian asli Jawa, meskipun ceritera yang ditampilkan disadur dari
kebudayaan Hindu. (Suryadi,1981:13)
Sesuai dengan Hikayat Banjar yang menyebutkan
bahwa wayang sudah tumbuh di Kalimantan Selatan sejak adanya Kerajaan Negara
Dipa, “... bawayang Wong, manopeng, bawayang Gadogan, bawayang Purwa, babaksan
....” merupakan kesenian yang biasa dipertunjukan di kerajaan itu" (Suryadikara,
1992:12).
c. Dalang Topeng
Teater Dalang Topeng adalah perkembangan dari
tarian manopeng. seorang Dalang sebagai narasi yang berceritera dan
melaksanakan antar dialog pemeran bertopeng. Ceritera yang dibawakan adalah
ceritera Panji.
4. Seni Musik dan Seni Suara
Seni musik pada zaman Hindu Budha tidak begitu
jelas. Namun terdapat gamelan yang diberi nama Srinting Badayu yang dibawa Empu
Jatmika dan menjadi kesenian istana Negara Dipa.
Lagu-laguan atau tembang yang dibawakan
pesinden tercatat tembang Paksi Muluk, Jajaka, Romiyang, Mandung, Sitro,
Cindro, Murda, Gandang Mirung, dan lain-lain, sebagai tembang menyambut tamu.
5. Seni Tari
Di dalam Hikayat Banjar disebutkan adanya
gamelan seperti yang disebutkan di atas. Di samping seni tari maka setiap upacara
tertentu dinyanyikan tembang-tembang yang diirigi gamelan selendro. Hal
tersebut dikatakan dan menjadikan orang “pargamalan ampat puluh kadangan
mantrinya Astaprani."
Tari Baksa yang beragam namanya seperti Baksa
panah, Baksa Dadap, Baksa Tumbak, Baksa Tameng, Baksa Kantar, Baksa Kupu-kupu,
diiringi oleh pargamalan empat puluh orang.
Kemungkinan tari rakyat yang didukung oleh
rakyat yang masih memelihara tari tradisional mereka seperti tari Gantur Balian,
juga masih dipergelarkan ketika upacara sehabis panen.
Walaupun Hikayat Banjar dan Hikayat Raja-raja
Banjar Kotawaringin belum dapat memberikan gambaran yang jelas tentang seni
tari dan musik, namun disebutkan bahwa ketika Negara Daha diperintah oleh
Pangeran Temenggung seni tari klasik Jawa Majapahit masih digelar.
Bandar kerajaan Negara Daha berpindah dari
pedalaman (Margasari) ke muara sungai dan mendekati laut yaitu di Muarabahan
(Marabahan sekarang), seniman dan budayawan Negara Daha juga ikut serta.
Menurut Sarbaini dari desa Barikin Hulu Sungai Tengah, Datu Taruna sebagai
sepuh di Barikin dan sekitarnya, mengirim adiknya ke Muarabahan untuk
memperdalam permainan Wayang dan tari Topeng untuk diturunkan di Barikin.
Diperkirakan saat itu kurang lebih tahun 1525, Barikin sudah menjadi sentra
kesenian di bawah pimpinan Datu Taruna.
Sumber: Modul Analisis Konteks Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional Berbasis Muatan Lokal di Kalimantan Selatan
Post a Comment
PERINGATAN..!!
1. Berkomentarlah Sesuai Judul Diatas Dengan Sopan dan Jangan Spaming !
2. Dilarang Berkomentar Yang Mengandung Unsur Pornografi dan Sara !