Kesenian Tradisional Banjar Pada Zaman Prasejarah

Tidak dapat dipungkiri bahwa seni cadas (rock art) merupakan salah satu bentuk data arkeologi yang amat penting untuk mengungkapkan kehidupan dan budaya manusia masa lampau, khususnya pada zaman prasejarah. Seni cadas atau sering disebut lukisan dinding gua tidak saja dianggap sebagai tinggalan yang dapat memberikan informasi tentang tatacara hidup manusia, akan tetapi sering juga dilihat sebagai bukti pencapaian citarasa seni manusia di masa lampau. Keluasan sebaran temuan seni cadas yang mencakup hampir ke seluruh pelosok dunia (Eropa, Afrika, Asia, Australia, Pasifik hingga Amerika), telah memberikan kesan bahwa seni cadas merupakan ungkapan seni yang universal (Tanudirjo, 1996).

Memang, secara eksplisit kesenian dari masa prasejarah sulit untuk dijelaskan. Diawali pada masa manusia hidup di gua-gua ataupun ceruk-ceruk tadah angin, di situlah “kesenian” manusia prasejarah mulai dapat diketahui, yaitu dengan ditemukannya gambar-gambar cadas atau lukisan pada dinding gua ataupun ceruk-ceruk tadah angin tersebut. Oleh seorang perupa, gambar cadas atau lukisan dinding gua yang juga sering disebut dengan istilah rock art paintings, ditafsirkan sebagai hasil ungkapan kejiwaan (emosi) seseorang yang mempunyai nilai-nilai seni. Gambar manusia, perahu, matahari, ataupun binatang dilukiskan secara sederhana atau bahkan hanya dalam bentuk sketsa, yang dapat dibandingkan dengan hasil lukisan dari seorang anak usia Taman Kanak-Kanak.

Lukisan dinding gua yang digambar secara sederhana di atas tidak berarti merupakan gambar yang dilukis oleh seorang anak usia Taman Kanak-Kanak. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa pemikiran manusia prasejarah yang masih sederhana dalam mengekspresikan sesuatu objek. Pemikiran sederhana seperti di atas masih dapat dilihat hingga masa-masa yang lebih kemudian bahkan hingga sekarang, seperti penggambaran lambang atau simbol-simbol yang bersifat magis-religius. Patung-patung dan balontang pada etnis Dayak hingga sekarang masih digambarkan secara sederhana, sekalipun saat ini telah tersedia para seniman patung yang dapat membuat patung manusia secara sempurna.

Untuk seni tari, seni suara dan lainnya juga dalam kasus yang sama dengan apa yang telah dijelaskan di atas. Bentuk gerakan dan ucapan yang mempunyai ritme-ritme tertentu yang tertuang dalam gerak tarian dan nyanyian semata-mata berdasarkan suatu tujuan yang mengandung nilai lain, sekalipun semua itu diungkapkan dari emosi kejiwaan yang bersifat sentimental penuh dengan perasaan. Sehingga sampai sekarang masih dikenal tarian perang, tarian saat akan berburu, tarian untuk arwah dan sebagainya yang masih ditemukan khususnya pada masyarakat Dayak di Kalimantan. Secara etnografis, tinggalan tersebut merupakan sisa-sisa hasil kesenian dari masa prasejarah di Kalimantan.

"Sumber Foto : https://bubuhanbanjar.files.wordpress.com/2011/04/untitled-scanned-08.jpg"

Masyarakat Dayak, membuat karya seni yang sangat sederhana dalam ragam hias. Penciptaan lebih mengarah pada fungsi religius dalam bentuk lambang-lambang yang berkaitan dengan konsep kepercayaan yang mereka anut. Konsep tersebut berhubungan dengan alam arwah, mitologi dan kosmologi. Motif-motif yang terdapat pada tiang sandung, tiang sanggaran dan tiang sapundu berbentuk sulur-suluran dan geometris. Motif ini mempunyai makna sebagai pengikat arwah agar tidak bergentayangan mengganggu yang hidup. Motif perahu digambarkan pada peti mati (raung), papan bernama tingang dan bangunan induk sandung sebagai simbol kendaraan yang akan membawa arwah dalam perjalanan menuju surga.

Ragam hias fauna seperti naga, tambun, jata, burung tingang, menggambarkan kosmologi yang terdiri dari alam atas, alam tengah dan alam bawah. Motif sanghari dan bintang bacarang melambangkan sinar kehidupan yang dicita-citakan setiap orang, terdapat pada ragam hias bakul arangansebagai wadah untuk upacara aruh ganal pada masyarakat Bukit Loksado. Motif lainnya menggambarkan flora, fauna dan manusia yang kesemuanya mempunyai makna dan simbol-simbol tertentu. Motif ukiran simbol penolak bala digambarkan dalam bentuk kedok dengan wajah yang menakutkan terdapat pada alat menggendong anak suku Dayak Ngaju yang disebut Baning Aban. Simbol tersebut dimaksudkan untuk menjaga si anak dari gangguan roh arwah, hantu-hantu dan roh binatang. Simbol penolak bala bagi masyarakat Banjar terlihat pada ragam hias ukiran rumah Banjar yang terdapat pada pilis dengan motif daun jaruju, pada dahi lawang dengan motif Banaspati (kala).

Katundang sebagai alat kerja ladang berpindah masyarakat Dayak untuk melubangi tanah tempat bibit padi, kalau dihentakkan menimbulkan bunyi-bunyian yang cukup merdu, akhirnya digunakan untuk alat musik. Dari bunyi-bunyian tersebut terkandung harapan untuk meminta hujan guna mengairi ladang mereka. Hal ini mengingatkan pada kita pada fungsi genderang nekara pada masa prasejarah.

Pada seni tari, walaupun gerakan tidak dinamis tapi mengekspresikan emosi yang meluap-luap sebagai harapan dan tanda syukur kepada Mahatala, tergambar melalui hentakan kaki yang kuat dan keras pada tari Balian, Bakanjar, Babangsai, tari Gantar dan sebagainya. Tarian ini biasanya disertai nyanyian dengan ritme yang teratur dan nada rendah berupa mamang oleh pemimpin upacara diselingi dengan teriakan-teriakan oleh penari. Secara etnografis, tinggalan tersebut merupakan sisa-sisa hasil kesenian dari masa prasejarah di Kalimantan.

Sumber: Modul Analisis Konteks Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Berbasis Muatan Lokal di Kalimantan Selatan

Post a Comment

PERINGATAN..!!
1. Berkomentarlah Sesuai Judul Diatas Dengan Sopan dan Jangan Spaming !
2. Dilarang Berkomentar Yang Mengandung Unsur Pornografi dan Sara !

[blogger][facebook][disqus]

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget